Home > Korupsi > Mencari Keadilan dalam Kasus BLBI

Mencari Keadilan dalam Kasus BLBI

Sejumlah saksi dan pejabat yang terkait dalam dugaan kasus korupsi dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dipanggil dan diminta keterangan lagi oleh Kejaksaan Agung. Langkah ini sesungguhnya bukan hal yang baru karena sebelumnya berulang kali Kejaksaan memeriksa mereka yang tersangkut BLBI. Sebagian obligor BLBI juga telah diadili. Meskipun ada terpidana yang berhasil kabur, ada juga yang telah mendekam di penjara seperti David Nusa Wijaya yang sebelumnya sempat melarikan diri. Bahkan untuk menuntaskan kasus BLBI, pada pertengahan 2007 lalu, Kejaksaan Agung menyiapkan 35 Jaksa yang secara khusus disiapkan untuk menangani kasus BLBI.

Namun demikian, tekad Kejaksaaan Agung untuk menyelesaikan kasus BLBI dipertanyakan. Terutama karena Kejaksaaan Agung tidak pernah secara terbuka mengungkapkan kebijakan penegakan hukum dalam kasus BLBI. Keterbukaan dan kejelasan arah kebijakan menjadi sangat penting dalam kasus BLBI, terutama karena luasnya dimensi pelanggaran hukum dalam kasus BLBI. Kasus BLBI tidak hanya terbatas pada penyalahgunaan dana dari BI, tetapi juga pada pengalihan aset, divestasi aset dan bahkan ada indikasi korupsi dalam penegakan hukum BLBI.

Kontroversi BLBI
Karena melibatkan para konglomerat besar dan pejabat teras, pemeriksaan kasus BLBI selalu mengundang kontroversi. Apalagi penyelesaian yang berlarut-larut menunjukkan betapa pemerintah dan khususnya penegak hukum tidak mempunyai sikap yang jelas dan tegas. Ada beberapa catatan penting terkait dengan kontroversi BLBI.

Pertama, dari sisi kebijakan tampak ada inkonsistensi. Para jaksa di Gedung Bundar terlihat sibuk melakukan pemeriksaan dengan memanggil banyak saksi. Akan tetapi tidak ada upaya yang serius, bahkan cenderung tutup mata terhadap kebijakan resmi pemerintah dalam penyelesaian BLBI. Adalah Inpres No. 8 tahun 2002 yang membebaskan obligor BLBI dari tuntutan pidana bila telah mengantongi surat keterangan lunas (SKL). Keberadaan Inpres No. 8 tahun 2002 menunjukkan bagaimana jaksa tampak tidak serius menegakan hukum. Seharusnya, sebelum melakukan pemeriksaan, Jaksa bisa meminta Presiden untuk mencabut Inpres yang kontradiktif dengan hukum positif di Indonesia karena pengembalian kerugian negara tidak serta merta menghilangkan aspek pidana.

Kedua, Jaksa hanya memanggil tersangka tertentu saja. Pada bulan Desember 2007 lalu, yang dipanggil adalah Anthony Salim yang mewakili Keluarga Soedono Salim, mantan pemilik BCA. Bagaimana dengan tersangka yang lain? Ada lebih dari 50 tersangka dalam kasus BLBI tetapi tidak semua diperlakukan sama oleh Kejaksaaan. Bahkan ada obligor yang belum mengantongi SKL tidak pernah diperiksa secara terbuka oleh Kejaksaaan.

Ketiga, dalam kasus korupsi ada istilah “it takes two to tango”. Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu pihak, baik yang diperkaya secara tidak sah maupun pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaan. Kasus BLBI tidak hanya melibatkan pengusaha yang merugikan negara, tetapi juga otoritas perbankan yang mengucurkan dana BLBI. Dalam perkembangannya, tidak tampak upaya Kejaksaan untuk mengejar pertanggungjawaban otoritas perbankan yang memberikan BLBI tanpa melakukan pengawasan dengan benar. Bahkan Kejaksaan Agung juga tidak meninjau kembali SP3 yang dikeluarkan terhadap mantan Direktur Bank Indonesia, padahal pada saat yang sama media massa dengan gencar mempersoalkan korupsi dana BI yang diduga juga dipergunakan untuk kepentingan pejabat BI.

Keempat, persidangan kasus BLBI juga tidak menunjukkan keseriusan pemerintah dan pengadilan untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya terhadap tersangka kasus korupsi paling besar dalam sejarah republik ini. Coba lihat statistik penanganan kasus korupsi BLBI, tampak tidak ada pemidanaan yang menjerakan. Dari dokumentasi ICW, dari 16 kasus yang sudah dituntaskan di pengadilan, hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun hanya dijatuhkan pada terdakwa yang telah melarikan diri. Sedangkan sisanya mendapat hukuman ringan, bahkan lebih dari 50% dihukum di bawah dua tahun. Lalu bagaimana dengan yang lain? Sebagian diantaranya telah mengantongi SKL, dihentikan proses hukumnya melalui SP3 dan ada pula yang tidak jelas status hukumnya.

Keadilan bagi semua
Agar kasus BLBI bisa diselesaikan, dan tidak menjadi komoditi politik dan hukum serta berujung pada mafia peradilan, ada beberapa langkah yang harus diambil oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus mencabut Inpres No. 8 tahun 2002 yang memberikan kekebalan hukum bagi obligor dianggap melunasi kewajibannya. Tanpa pencabutan Inpres itu, jangan pernah berharap ada penegakan hukum dalam kasus BLBI. Publik juga akan pesimis bahwa semua tindakan pemanggilan saksi dan tersangka hanya akan berakhir pada “/deal”/ untuk kepentingan penegak hukum dan elit politik.

Kedua, sebetulnya secara finansial kerugian yang ditimbulkan oleh BLBI sangat besar. Utang yang semula dikucurkan Rp. 144,53 triliun kini telah membengkak lebih dari Rp. 600 triliun yang harus dibayar oleh APBN. Utang konglomerat kini harus dibayar oleh rakyat melalui APBN yang dibiayai dari berbagai pungutan, pajak, dan pendapatan negara lainnya. Dalam kasus BLBI,  sesungguhnya asset recovery tidak signifikan lagi. Pembayaran utang konglomerat pengemplang BLBI itu kini tidak sebanding lagi dengan beban yang harus ditanggung oleh APBN. Karena itu, penegakan hukum adalah opsi terbaik karena selain menciptakan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat, penegakan hukum juga menciptakan rasa takut agar tindakan serupa tidak akan dilakukan lagi di masa depan.

Ketiga, kasus BLBI bukan hanya soal penyalahgunaan dana BI itu. Ada tindak pidana lain seperti baru-baru ini terungkap Tommy Soeharto membeli kembali asetnya melalui perusahaan lain atau /vehicle company/. Oleh karena itu, dalam kasus BLBI, KPK juga bisa turun tangan karena ada banyak tindak pidana yang terjadi setelah KPK didirikan sehingga tidak ada hambatan pelanggaran asas retroaktif.

Keempat, Kejaksaaan Agung juga harus melakukan pemeriksaan internal. Siapa jaksa yang memberi ijin keluar negeri tersangka sehingga mereka berhasil melarikan diri? Siapa jaksa yang memutuskan untuk menghentikan perkara melalui SP3? Pemeriksaan internal menjadi penting terutama agar dugaan pemerasan dan mafia peradilan di balik pengungkapan kasus BLBI juga bisa dituntaskan. Terutama agar penyelesaian kasus BLBI benar-benar mengedepankan keadilan bagi semua.

Akibat dari kebijakan BLBI, kini setiap tahun pemerintah harus mengalokasikan pembayaran beban hutang. Kebijakan BLBI pada dasarnya adalah pengalihan hutang swasta menjadi hutang publik yang memberatkan keuangan negara. Besarnya alokasi untuk pembiayaan hutang itu jauh melebihi anggaran pendidikan, kesehatan dan subsidi sosial lainnya. Ujung-ujungnya, masyarakat yang harus menanggung beban itu. Karenanya, soal keadilan bagi semua menjadi sangat relevan dalam kasus BLBI. Keadilan dan juga kepastian hukum tidak hanya milik para tersangka, tetapi juga bagi korban, yakni seluruh rakyat Indonesia.

Categories: Korupsi
  1. August 29, 2008 at 1:39 am

    kepada pembuat saya setuju dengan artikel anda ini sehingga menggugah niat keadilan

  2. Geby
    November 15, 2008 at 11:25 am

    sebaiknya kasus korupsi di indonesia segera ditangani.karena bisa berakibat fatal bagi bangsa n negara kita,terutama unruk masa depan generasi muda n bisa menjadi contoh yang buruk.padahal kita justru berharap mereka bisa menjadi penerus bangsa yang memajukan negara indonesia.
    kami selaku generasi muda sangat berharap usul kami ini bisa menjadi pembahasan untuk memberantas masalah korupsi yang terjadi indonesia….
    trims..
    Salam
    Murid SMP ZION GKKA – UP MAKASSAR

  3. sharma
    December 9, 2008 at 6:46 am

    obligstor udah di kasih inpres no 8/02 aja masih susah diselesaikan, bayangkan kalo di cabut..

    seharusnya jangan salahkan inpresnya..]
    salahkan keteguhan niat pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini..

  4. Ayundha
    February 23, 2009 at 12:42 pm

    Stuju !
    Akan jd apa negara qta kalau bnyk pjabat yg korupsi ?
    Aneh.
    Knpa dana buat suntikan bank bangkrut ttp dikorupsi ?
    Ckckck.

  5. silmi
    September 22, 2009 at 1:05 am

    saya setuju dgn sharma, meskipun tidak membenarkan sepenuhnya inpres no.8/02
    sepertinya jika mau membenahi kerjaan kejagung harus dibenahi niatnya dulu

  1. No trackbacks yet.

Leave a reply to silmi Cancel reply